Pernah melihat liputan sebuah acara pentas sekolah di TV? Pernah mengamati bagaimana kaum remaja menjawab pertanyaan yang diberikan oleh para wartawan? Kira-kira beginilah :
- "Emm, pokoknya acara asyik banget, band-band yang tampil keren banget, musiknya OK, ya pokoknya te-o-pe deh!"
- "Gila, acaranya keren banget gitu, lho! Aduh pokoknya keren deh... Pokoknya yang nggak dateng nyesel aja!!"
- "Wah, pokoknya gua salut lah sama panitianya. Acaranya keren abis, booo!!"
Lalu bagaimana kalau dimintai komentar, misalnya tentang seorang artis favoritnya, katakanlah shiren sungkar?
- "Wah shiren sungkar itu top banget, gitu lho! Bodinya seksi, suaranya bagus, cantik banget, aduh pokoknya keren deh!"
- "Iya, gua demen banget sama shiren. Dia tuh udah seksi, jago nyanyi, udah gitu jago akting lagi! Wah, tipe gua banget, tuh!"
- "Gua suka shiren.... karena apa ya? Ya karena dia keren aja, gitu!!!"
Entah bagaimana pendapat para guru di sekolah, yang jelas saya merasa prihatin dengan kondisi kemampuan berbahasa kaum remaja kebanyakan. Taufik Ismail sebelumnya sudah seringkali memperingatkan semua orang tentang betapa kurangnya pengajaran bahasa dan sastra Indonesia baik dari segi kualitas dan kuantitas. Saya percaya sang ikon sastra Indonesia itu memang benar.
Masalahnya bisa merembet kemana-mana. Dengan kemampuan berbahasa seperti ini, maka bisa dibayangkan bagaiman buruknya kualitas komunikasi yang terjadi di dunia remaja. Mereka tidak bisa menyampaikan maksudnya dengan baik. Sebenarnya tidak ada salahnya menggunakan bahasa non-baku, asalkan maksudnya tersampaikan. Tapi dari enam contoh kalimat di atas, berapa banyakkah informasi yang bisa kita dapatkan?
Dengan kondisi seperti ini, wajarlah kiranya jika para siswa sekolah jauh lebih memilih mengerjakan soal-soal pilihan ganda daripada esai. Masalahnya jelas : mereka tidak mampu menyampaikan maksudnya dengan baik ; dengan cukup jernih sehingga bisa dimengerti oleh orang lain. Kalau cuma sekedar bilang "si A keren", "acara ini bagus", "desainnya ciamik" dan sebagainya, siapa pun bisa melakukannya. Tapi tidak ada yang mengerti maksud pembicaraannya sebenarnya. Keren seperti apa? Mengapa ia dibilang keren? Apa yang membuatnya merasa ia lebih keren daripada yang lain? Tidak ada secuil pun informasi!
Gaya berbahasa berkaitan erat dengan bahan bacaannya. Kalau yang dibaca remaja selalu masalah-masalah percintaan yang beraliran gombalisme, maka tidak heran jika pikiran mereka pun tidak terbiasa dengan hal-hal lain yang sebenarnya sangat penting. Jika pikirannya hanya disibukkan oleh hal-hal semacam itu, maka jangan heran jika mereka cenderung menghindar dari pembicaraan-pembicaraan serius (dan tentu juga tulisan-tulisan yang serius).
Menurut saya, di sekolah-sekolah, di milis-milis, atau di perkumpulan-perkumpulan pengamat bahasa dan sastra semacam FLP, misalnya, perlu digalakkan kebiasaan menyatakan pendapat. Apa pun pendapatnya, setiap orang harus bisa menyampaikannya dengan baik. Apa pun fenomena yang diamati, pasti benak setiap orang memiliki pendapat masing-masing. Mustahil ada manusia yang tidak memiliki pendapat. Yang ada hanyalah manusia yang tidak mampu atau tidak berani menyatakan pendapatnya itu.
Masalah komunikasi memang bisa berimplikasi kemana-mana. Hanya karena salah bicara, sepasang suami-istri bisa menemui perceraian. Karena maksud yang tidak tersampaikan, sudah tidak terhitung banyaknya manusia yang menyesal. Dan karena ketidakmampuan kita dalam merangkai kata, begitu banyak diskusi yang menemui kebuntuan. Singkat kata, kegagalan dalam berbahasa bisa berakibat fatal!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar